Menjaga Denyut Tradisi di Tepian Danau Toba
NETTY Siregar (7) dan tujuh kawannya menyandang ulos, menari sambil melantunkan pantun mengikuti rampak gondang batak yang diputar agak sember lewat pengeras suara. Kaki- kaki mungil tak beralas itu digoyang lincah ke kiri dan ke kanan di atas pasir yang panas.
Sesaat, alam seolah berputar menuju masa saat tari dan nyanyi menjadi napas hidup bocah-bocah tepian Danau Toba.
Hawa terik hingga 36 derajat celsius sekalipun tak memupus raut ceria dari wajah siswa SDN Huta Nagodang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, itu pekan lalu. Mereka bersemangat membawakan tumba, tarian gembira dengan lagu berpantun, dalam Festival Tumba dan Tortor yang digelar sebagai upaya mempromosikan Taman Bumi atau Geopark Kaldera Toba.
Wilson Siregar (47), penduduk asli Desa Huta Nagodang yang berada tepat di tepi selatan Danau Toba, mengenang, tahun 1960-1980, tumba dan tortor jadi keseharian warga. Anak-anak menari sambil bernyanyi. Remaja menarikan tortor (manortor) sebagai media pergaulan. ”Hampir setiap sore tepian danau tak pernah sepi. Saat itu sudah ada wisatawan asing masuk ke Toba dan spontan ikut menari bersama kami,” katanya.
Sepulang sekolah, Wilson bersama teman sekampungnya berkumpul di tepian danau. Tidak jauh dari mereka, sejumlah orangtua memainkan gondang atau alat musik tradisional Batak yang didominasi kecapi dan seruling. Anak-anak lalu menari sambil diajari pantun bahasa Batak. Namun, lambat laun, denyut tari dan nyanyi memudar seiring terpaan modernitas yang menyebabkan anak-anak lebih menggemari tari modern dan lagu pop. Bahkan, kini kian jarang anak-anak yang bisa menarikan tortor dan tumba.
Warisan mulai luntur
Tidak hanya seni tari, kelestarian warisan budaya Batak berupa kain ulos kini juga terancam. Sejumlah jenis kain ulos (tenun batak), seperti ulos raja, ulos ragi botik, ulos gobar, ulos sibolang, dan ulos saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), sudah sangat jarang diproduksi.
Padahal, ujar Maroker Siregar (63), partonun (petenun) ulos batak di Kecamatan Muara, kain itu dulu digunakan dalam setiap kegiatan adat. Banyak petenun juga meninggalkan pewarna alami dari berbagai flora yang tumbuh liar di sekitar danau sebagai pemberi corak pada benang.
Keindahan seni tenun ulos dengan pewarna alam dapat disejajarkan dengan batik tulis dari Jawa. ”Nilai tradisi semestinya terkandung dalam sehelai kain ulos. Kini, prosesnya hasil mesin pabrikan. Padahal, dalam falsafah Batak, ulos jadi media doa dari pemberi untuk penerima ulos,” katanya.
Gagarin Sembiring, anggota Tim Percepatan Taman Bumi Kaldera Toba Sumut, mengatakan, kawasan Taman Bumi Kaldera Toba adalah sebuah kesatuan ekosistem geologi, biologi, dan budaya. Dalam konsep taman bumi, konservasi kawasan kaldera hasil letusan supervolcano yang terakhir terjadi 74.000 tahun silam itu dapat dilihat dari pendekatan biodiversity (keanekaragaman hayati) dan culture diversity (keanekaragaman budaya).
RE Nainggolan, pegiat Geopark Toba dan mantan Bupati Tapanuli Utara, sebagai salah satu penggagas Festival Tumba dan Tortor di Kecamatan Muara, mengaku rindu tradisi asli Batak dihidupkan lagi. Dengan kemasan pertunjukan kontemporer, tumba, tortor, dan ulos bisa jadi etalase wisata budaya di Toba. Kearifan lokal itu bisa jadi magnet wisata yang membuat kunjungan turis yang kini rata-rata dua hari bertambah.
Libatkan masyarakat
Nyatanya, belum banyak warga paham konsep geopark. ”Apa itu geopark? Saya baru tahu,” kata Trisno Siallagan (30), pemuda Desa Siallagan yang berada di kawasan wisata Tuktuk Siadong, Kabupaten Samosir.
Syukur Simbolon (39), warga Kecamatan Pangururan, Samosir, yang setiap hari memanfaatkan air Toba untuk mengairi lahan bawang merahnya, juga belum pernah mendengar soal geopark. Dia berharap, apa pun itu, semestinya meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Padahal, tim penilai UNESCO akan mewawancarai warga di sekitar Toba secara acak mulai April 2015. Hasil wawancara itu jadi bahan pertimbangan menentukan masuk atau tidaknya danau vulkanik-tektonik terbesar di dunia itu dalam jaringan taman bumi global. Jika masuk, Toba pastilah disorot dunia. Aktivitas pariwisata akan ramai.
Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan menambahkan, infrastruktur jalan sekitar Toba masih buruk dan menghambat mobilitas wisatawan. Butuh komitmen dari pemerintah pusat untuk membantu penyediaan sarana itu.
Namun, infrastruktur bukan persoalan satu-satunya. Dalam konservasi danau, ironisnya, pemerintah masih setengah hati. Saat masyarakat didorong menjaga ekosistem, aktivitas usaha yang mencemari perairan terus berjalan, seperti penebangan hutan di wilayah Tele, Kabupaten Samosir, dan budidaya ikan pada ribuan keramba jaring apung yang mulai memenuhi sebagian wilayah perairan.
Sekretaris Forum Sisingamangaraja XII Mangarimpun Parhusip meminta pemerintah memberikan contoh kepada masyarakat terlebih dulu.
0 komentar