Kampung Vietnam, Monumen Kemanusiaan Indonesia

By 07.48

KAMPUNG Vietnam seluas 80 hektar di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, sejatinya bukan hanya bekas lokasi penampungan ribuan pengungsi asal Vietnam selama lebih kurang 16 tahun pada 1979-1995. Keberadaannya beserta berbagai peninggalannya layak dicatat sebagai monumen kemanusiaan bangsa Indonesia.

Kisahnya berawal dari pergolakan politik yang melanda Vietnam tahun 1970-an. Pergolakan kian memanas sehingga pecah perang saudara antara kelompok masyarakat bagian selatan dan kelompok masyarakat bagian utara negara itu. (Baca: Hati-hati Saat Belanja Oleh-oleh di Batam)
Karena kondisi semakin tidak menentu dan kian mencekam, ribuan warga bagian selatan Vietnam lalu memilih meninggalkan negerinya. Dengan hanya menggunakan kapal kayu, mereka yang juga disebut sebagai manusia perahu pergi mencari kedamaian atau suaka politik ke sejumlah negara di sekitarnya, termasuk Indonesia.

Khusus perjuangan mencari kedamaian hingga ke Indonesia, mereka nekat mengarungi Laut Tiongkok Selatan yang dikenal ganas. Setelah melewati pelayaran selama berbulan-bulan, perahu pertama berpenumpang 75 pengungsi akhirnya tiba di Indonesia, persisnya di Natuna, Kepulauan Riau, 22 Mei 1975. (Baca: Wisata Pelayaran Cheng Ho untuk Menarik Turis Tiongkok 

”Kehadiran pengungsi asal Vietnam di Natuna sekitar 40 tahun lalu itu serentak menjadi pemberitaan meluas. Bahkan, Presiden Soeharto melalui menterinya ketika itu langsung memerintahkan instansi terkait memberikan perhatian berupa bantuan kemanusiaan sepantasnya bagi para pengungsi,” tutur Zaid Adnan, Kepala Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang, di Kampung Vietnam, Minggu (8/2).

Pemberitaan itu ternyata menjadi panduan bagi ribuan pengungsi lain mengikuti jejak pendahulunya ke Natuna. Karena jumlah pengungsi terus bertambah, sementara pengamanan semakin menjadi beban tidak ringan lantaran daya tampung kian terbatas, Presiden Soeharto ketika itu mulai mempertimbangkan untuk memindahkan para pengungsi ke daerah aman, yakni kawasan yang benar-benar tertutup dari kemungkinan berinteraksi dengan warga lokal. Setelah mendiskusikannya dengan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), dicapai kesepakatan memindahkan para pengungsi ke Pulau Galang, tepatnya di Desa Cijantung, tahun 1979.

Setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto, UNHCR lalu membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan pengungsi. ”Dana seluruhnya dari UNHCR, pengerjaan pembangunannya melibatkan pengusaha lokal,” ungkap H Syukur, anggota staf Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang.

KOMPAS/FRANS SARONGSalah satu peninggalan bekas kamp pengungsi Vietnam (1979-1995) atau lazim disebut Kampung Vietnam di Desa Cijantung, Pulau Galang, Batam, adalah pekuburan berisi 563 makam.
Keberadaan kawasan penampungan itu justru membuat pengungsi manusia perahu dari Vietnam terus berdatangan. ”Jumlah puncaknya sempat mencapai 250.000 jiwa. Mereka semua ditempatkan dalam kawasan kamp secara terisolasi atau sama sekali tertutup kemungkinan berhubungan dengan masyarakat luar di sekitarnya,” kata Zaid.

Dalam perjalanannya, para pengungsi perlahan diberangkatkan ke sejumlah negara lain yang merelakan fasilitas suaka politik melalui PBB. Sebagian lain belakangan dipulangkan ke Vietnam menyusul kondisi negara asal mereka yang berangsur pulih.

Menurut catatan Zaid, pemulangan terakhir ke Vietnam terjadi tahun 1995, meliputi 4.750 pengungsi. ”Suasana kepulangan para pengungsi terakhir itu tanpa rasa ragu karena langsung dijemput oleh sejumlah pejabat dari Vietnam,” ujarnya.

Jejak tertinggal

Walaupun nama Kampung Vietnam tetap melekat, di lokasi yang kini menjadi kawasan hening, hijau, dan terjaga itu sesungguhnya tidak ada lagi pengungsi yang tersisa. Jejak yang tertinggal di antaranya lokasi pekuburan berisi 563 makam serta bangunan rumah ibadah, seperti mushala, wihara, dan gereja (Katolik dan Kristen Protestan). Selain itu, ada sejumlah bangunan yang tidak lagi terawat, yakni bekas kamp bagi para pengungsi untuk berteduh.

Ada pula bangunan bernama Humanity Statue, yakni monumen kemanusiaan berupa patung perempuan dalam keadaan tak berdaya. Konon monumen itu khusus untuk mengenang tragedi yang menimpa seorang perempuan pengungsi bernama Tinh Han Loai. Ia memilih bunuh diri karena tak kuat menanggung malu setelah diperkosa sejumlah pria sesama pengungsi.

Setelah Kampung Vietnam tidak lagi menyisakan warga pengungsi, PBB melalui UNHCR mengembalikan kawasan itu kepada Pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Badan Otorita Batam membenahi kawasan itu, antara lain melengkapinya dengan museum khusus tersebut.

Di sekitarnya juga terpajang dua perahu sebagai monumen khusus untuk mengenang perjuangan para pengungsi mengarungi lautan demi kedamaian hingga ke Indonesia.

KOMPAS/FRANS SARONGSalah satu peninggalan bekas kamp pengunsi Vietnam (1979-1995) atau lazim disebut Kampung Vietnam di Desa Cijantung, Pulau Galang, Batam, adalah pekuburan berisi 563 makam.
Kini, Kampung Vietnam—sekitar 60 kilometer dari Batam—dipasarkan sebagai obyek wisata sejarah andalan Batam, bahkan Kepulauan Riau. Khusus pada hari raya atau hari libur, pengunjungnya bisa mencapai 4.000 orang hingga 5.000 orang.

Tidak sedikit dari para wisatawan itu eks pengungsi atau keluarganya yang kini sudah berhasil dan menyebar di sejumlah negara. Kunjungan mereka terutama ke lokasi pemakaman.

Rusli (38), pengunjung asal Jakarta, melukiskan, belum ke Batam jika tidak menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Vietnam. ”Obyek wisata ini layak dijaga kelestariannya karena merupakan jejak sejarah kemanusiaan Indonesia,” ujar Rusli ketika bersama keluarganya menjelajahi kawasan Kampung Vietnam.

Rusli dan Zaid benar, bekas kamp pengungsi itu merupakan monumen kemanusiaan bangsa Indonesia!

You Might Also Like

0 komentar