Hilman, Obrolan tentang Lupus Sampai Raditya Dika
Awalnya di tahun 1986. Seorang mahasiswa tingkat pertama yang introvert dan pemalu, yang selalu grogi di tengah kerumunan orang banyak, ternyata mampu memegang kendali tren remaja Indonesia.
Lewat tarian jemarinya di atas keyboard komputer, mencurahkan imajinasi liarnya yang kreatif, lahirlah sebuah cerita remaja yang penuh humor namun bijak, “Lupus”.
Hilman Hariwijaya, dialah otak di balik “Lupus” yang juga mendapat gelar terhormat “Jago Ngocol se-Indonesia.” Sampai detik ini, rasanya belum ada yang pantas menerima estafet gelar itu. Hukum zaman berlaku, nama Hilman perlahan memudar dari etalase toko buku. Tapi yang pasti, Hilman masih tetap berkarya hingga detik ini.
Satu hari di pertengahan Januari 2015, Metrotvnews.com bertemu Hilman. Kawasan Baywalk Pluit dipilih Hilman sebagai lokasi pertemuan. Hari itu cerah berawan, kami bertemu di sebuah kedai kopi di tepi pantai. Hilman yang sudah tidak serupa lagi dengan fotonya di sampul belakang buku “Lupus”, kini rambutnya tak lagi belah tengah dan perawakannya tak sekurus dulu.
Berawal dari Hai, majalah remaja yang pada dekade 80-an dan 90-an dikenal mengakomodir muda-mudi yang memiliki jiwa jurnalisme dan piawai menulis. Hilman yang waktu itu masih duduk di bangku SMP sudah aktif menulis di Hai. Pelan tapi pasti, Hilman menapaki karier sebagai penulis fiksi yang diperhitungkan.
3,8 juta eksemplar novel “Lupus” setidaknya ludes di pasaran. Angka fantastis yang mungkin sulit terulang saat ini. Dunia dalam “Lupus” seolah tak pernah kehabisan cerita. Lebih dari 30 judul novel Lupus telah diterbitkan.
Sosok remaja yang doyan makan permen karet itu selalu menarik untuk diikuti kisahnya. Banyolan yang khas, karakter-karakter pendukung yang kuat dan terus ada dalam setiap cerita, dan kejutan-kejutan yang menggelitik dan ajaib menjadi daya tarik novel “Lupus” di setiap episodenya.
“Awalnya saya ngebayangin mau ciptain tokoh kayak apa, saya mau menciptakan sesuatu yang baru. Gambaran anak muda pada saat itu, mulai dari cara ngomong sampai cuek-cueknya. Dulu cerita remaja tuh yang bikin bukan remaja, dulu Arswendo yang (sering) bikin. Sedangkan saya menulis memang seusia Lupus dengan dunia dan lingkungan saya sendiri. Melihat teman-teman dekat saya, akhirnya terciptalah Lupus dan geng-gengnya,” kata Hilman.
Kesuksesan Hilman tidak lepas dari posisinya sebagai penulis lepas di majalah Hai dan sosok Arswendo Atmowiloto yang pada waktu itu menjadi redaktur di majalah remaja pria itu. Arswendo disebut Hilman sebagai sosok yang berjasa karena telah memberikan porsi bagi dirinya yang masih muda untuk mengasuh rubrik cerita serial, yang akhirnya menjadi cukup penting bagi majalah itu.
“Dia (Arswendo) berjasa banget untuk saya mempopulerkan ini (‘Lupus’). Dia memberikan ruang bagi saya untuk menulis di Hai, padahal dia punya cerita serial juga. Ketika saya bikin ‘Lupus’ dia bilang, ‘terusin aja,’” kenang Hilman.
Entah memang insting Arswendo yang tajam dalam melihat potensi Hilman atau memang takdir Hilman untuk menjadi penulis besar, tidak butuh waktu lama bagi “Lupus” untuk jadi populer di kalangan remaja. Dari sepenggal cerita pendek dalam majalah, “Lupus” bertransformasi menjadi sebuah novel.
Alter ego
Hilman Hariwijaya, dilahirkan di Bengkulu. Kota yang sama sekali bukan kampung halaman kedua bagi orangtuanya. Ayah Hilman seorang tentara yang amat disiplin. Besar di lingkungan yang keras tidak membuat Hilman merasa nyaman. Menulis jadi jalan keluar terbaik Hilman dari lingkungan yang tidak bisa ia terima.
“Saya anti banget dengan kekerasan. Saya tinggal di (perumahan) Hankam, saya tertekan lingkungan saya yang hobinya gebukin orang. Ada orang ngapel pacarnya yang rumahnya di sana aja pulangnya digebukin, dan mereka bangga gebukin orang. Saya juga pernah digebukin karena menentang sikap mereka. Dibilang banci sebagai anak tentara. Dari situ alam bawah sadar saya mau menjadi seorang seniman yang hatinya halus,” tutur Hilman.
Sosok Lupus bukanlah cetak biru seorang Hilman. Lupus dan dunianya seperti tempat bermain baru bagi Hilman. Tempat Hilman memainkan sebuah dunia imajiner yang dibuatnya dengan racikan ideal kehidupan remaja yang indah, mengangkasa tetapi realistis.
“Saya itu orangnya pemalu, introvert dan grogian kalau banyak orang. Lupus itu alter ego saya. Saya penginnya kayak gitu, jadi anak muda itu kayak dia, lucu, disenengin, cuek, nyablak. Sedangkan saya sendiri banyak pertimbangan kalau ngomong, misal takut orang tersinggung enggak ya,” kata Hilman.
Sifat Hilman yang bertolak belakang dari dunia rekaannya dalam tulisan juga membuat atasannya kaget. Itulah Hilman, yang seolah memang dilahirkan memiliki jutaan gagasan ‘gila’ di balik sikapnya yang kalem.
“Arswendo aja waktu pertama kali saya bikin ‘Lupus’, dia agak underestimate. ‘Emang lu bisa bikin tulisan kayak gitu? lo kan pendiem gitu,’” ujar Hilman menirukan Arswendo. “Tapi itu sebelum dia baca, setelah dia baca, ketawa-ketawa, ‘Lo ternyata gila juga ya’. Saya menyalurkan kegilaan memang dari nulis. Dari situ saya bisa gila-gilaan,” lanjut Hilman sembari tertawa kecil.
Popularitas tidak lantas membuat karakter Hilman berubah. Acara jumpa pembaca dengan penulis menjadi ajang yang membuat adrenalin Hilman terpompa. Ekspektasi penggemarnya akan sosok Hilman yang setipe Lupus justru membuat Hilman pusing.
“Itu beban buat saya, orang berharap saya kayak lupus. Saya jumpa pengarang dan pembaca, dan itu yang dateng banyak banget. Di situ mereka harapin saya kayak lupus, makanya saya ajak teman-teman kayak Gusur dan Boim, kalau saya sendiri bisa mati berdiri. Bertahun-tahun beban berat buat saya diledekin, ‘Ayo dong Lupusnya ngelucu,’ saya semakin grogi digituin,” ungkap Hilman.
foto: Hilman Hariwijaya / ist.
Mengenal Lupus
Andai Hilman tidak ikut klub pecinta astronomi di Planetarium, mungkin tidak ada nama Lupus dalam karyanya. “Lupus itu nama rasi bintang, saya juga suka astronomi, suka mengkhayal. Di Planetarium ikut klub astronomi, waktu itu komet Halley melintas dan saya ikut ke Cibubur untuk pengamatan, terus ada astronom pendamping dan dia ngomong, 'Sekarang lagi melintasi gugusan bintang lupus'," jelas Hilman.
Nama Lupus pun terus terngiang di benak Hilman dan dijadikan nama untuk karakter ciptaannya. “Saya enggak kebayang itu nama penyakit atau itu artinya serigala saya enggak tahu. Arswendo aja kaget, ‘Nama kok Lupus sih?’. Kalau Gusur itu nama asli, Boim itu karena saya mikir nama anak Betawi, kalau Fifi (Alone) itu nama asli. Alone itu karena dia enggak punya pacar, semua itu spontan enggak dipikirin sebelumnya,” urai Hilman.
Seputar lelucon yang ada dalam “Lupus”, Hilman mendapatkan idenya dari percakapan dalam kesehariannya bersama sahabat-sahabatnya di SMA 16 Jakarta Barat, tempat Hilman menimba ilmu.
Dunia cerita fiksi adalah dunia Hilman. Menulis bukan saja sebagai profesi, tetapi seperti sebuah kegiatan yang mampu membuat Hilman melupakan segalanya. Hilman menulis “Lupus” dengan segenap hatinya. Tak heran, karakter-karakter yang diciptakannya tidak menguap begitu saja setelah diciptakan.
“(Karakter) Buat saya kayak anak, makanya saya jaga banget Lupus. Setiap pengarang, karakter yang diciptakan itu anak-anak dia. Kita kayak Tuhan, menentukan karakter yang kita ciptain mau gimana. Jangan sampai kita membunuh karakter kita sendiri. Kalau yang enggak dijaga, 'dibunuh' sendiri, jadinya (orang lain) enggak simpati dengan karakter itu. Itu kenapa saya enggak mau kasih Lupus ke orang lain, karena saya enggak tahu nanti batasan-batasannya. Saya enggak mau Lupus nanti misalnya, gampar orang,” kata Hilman.
foto: Ryan Hidayat / Lupus / ist.
Menulis Skenario
Kesuksesan penjualan Lupus tidak membuat Hilman berpuas diri. Dia justru terus mengeksplorasi kemampuannya dalam membuat cerita ke dunia yang lain, sinema.
Sudah belasan judul sinetron yang telah ditulis Hilman, diantaranya “Cinta Fitri” musim 1, 2 dan 3, “Melati untuk Marvel”, “Cinta 7 Susun”, “Catatan Hati Seorang Istri” dan “Kita Nikah Yuk”.
Bagi Hilman, menulis skenario memiliki tantangan tersendiri dan itulah bidang yang kini dihidupi dan menghidupinya.
“Menurut saya, sebuah peningkatan dari nulis buku terus nulis skenario film atau sinetron, itu peningkatan kemampuan dari seorang pengarang. Orang boleh enggak setuju, tapi itu peningkatan kemampuan pengarang. Sebenarnya, penulis buku belum tentu bisa nulis skenario, begitu juga sebaliknya. Tetapi saya analogikan menulis buku itu kayak bermain piano klasik. Kalau sudah bisa main piano, bisa main keyboard yang banyak pengembangannya. Keyboard itu ibarat sinetron,” terang Hilman.
Kesibukan menggarap skenario untuk sinteron tidak membuat Hilman memadamkan mimpinya untuk kembali mengangkat Lupus, “Saya kepikiran mau dibikin kayak animasi, karena sosok Lupus susah (divisualisasikan). Karena kalau animasi bisa sesuai,” kata Hilman.
Butuh keseriusan dari berbagai pihak untuk menghidupkan kembali karakter Lupus. Terutama jika Hilman bertekad ingin mengangkat lagi Lupus ke layar lebar.
Film "Lupus" yang menampilkan aktor alm. Ryan Hidayat terbilang sukses diterima masyarakat. Tak kurang dari 5 judul film "Lupus" yang telah diperankan oleh Ryan. Mulai dari "Lupus I: Tangkaplah Daku Kau Kujitak" (1987), "Lupus II: Makhluk Manis Dalam Bis" (1987), "Lupus III: Topi-Topi Centil" (1989), "Lupus IV: Anak Mami Sudah Besar" (1990) dan "Lupus V: Iih, Syereem!" (1991).
Meski belum ada rencana pasti, tetapi Hilman bercita-cita apa yang telah dibuatnya dapat terus dikenang dan tumbuh lintas generasi. “Salah satu cita-cita saya, kayak Disney, bisa abadi. Dari dulu sampai sekarang orang tahu Mickey Mouse, Donald Duck. Tapi itu kan enggak bisa sendirian. Butuh orang-orang baru dan itu yang belum saya dapat,” tukas ayah dua anak itu.
Tentang Raditya Dika
Hilman sempat mengakui bahwa ada sedikit kegelisahan bila ingin ‘menghidupkan’ Lupus kembali. Humor dan kisah yang disajikan mungkin tidak segar seperti dulu lagi. Semua telah berubah memang, kini toko buku dibanjiri beberapa buku kocak karya penulis-penulis muda.
Pola seragam yang sedang tren saat ini adalah para komedian tunggal yang memiliki banyak penggemar di media sosial, kemudian menulis buku-buku dengan berbagai kisah berbumbu humor. Tidak bisa dipungkiri, Raditya Dika adalah salah satu pelopor tren ini.
Raditya telah merilis buku sebelum era Stand-Up Comedy populer. Radit mampu menghadirkan tulisan-tulisan ringan yang menghibur, yang mengingatkan kita pada demam Lupus tiga dekade silam.
“Banyak yang meng-compare karya saya sama Radit. Tapi saya enggak bisacomment karena zamannya beda. Mungkin dia sendiri ter-influence Lupus, saya juga ter-influence penulis sebelumnya. Saya open minded, enggak pernah mengkritisi dan nge-judge. Saya percaya setiap karya ada bagusnya. Kuncinya saya bertahan hingga saat ini karena saya open. Ada teman saya (penulis) yang antipati, ya enggak berkembang. Kalau kita open minded, terbuka sama perkembangan yang sekarang dan enggak terlalu kaku, kita bisa survive,” sambung Hilman.
Tidak terasa, hampir dua jam Metrotvnews.com berbincang dengan Hilman. Sebelum berpisah, Metrotvnews.com mencoba untuk mengulik apakah Hilman pernah memacari salah satu penggemarnya di era kejayaan Lupus.
“Kalau sampai pacaran enggak. Pada zaman itu iya (banyak penggemar). Sebetulnya biasa aja, ada traumanya juga. Ada yang tergila-gila sampai kalau saya nolak dia, dia mau ngebunuh. Sampai saya pindah rumah, dari Slipi pindah (jadi) kos. Awal-awal sih asyik, lama-lama (penggemar itu) jadi gila. Dia sampai sandiwara, karena saya enggak pernah mau temui lagi. Dia datang ngaku-ngaku kembarannya dan mau bunuh saya,” kenang Hilman sembari tertawa.
0 komentar