Sehari Bertualang di Hutan Tertua Pulau Jawa
MENDENGAR nama Alas Purwo yang muncul di pikiran adalah cerita mistis yang beredar dari mulut ke mulut. Alas Purwo sendiri diyakini sebagai hutan pertama atau hutan tertua. Apalagi jika mencoba menyusuri kawasan hutan di kawasan taman nasional di ujung timur Pulau Jawa ini. Hawa magis menyelimuti sekujur tubuh.
Sejak menuju pintu kawasan taman nasional, hutan jati tumbuh tinggi di dua sisi jalan. Dedaunan jatuh menghiasi jalan yang rusak. Genangan air sisa hujan membentuk kolam-kolam kecil. Hilang waspada ketika berkendara, tubuh akan bergoyang akibat roda menghantam lubang. Tak ada suara bising knalpot. Hanya ada suara gergaji yang mengaum untuk menerjang pohon-pohon jati di hutan produksi milik negara.
Pos penjagaan taman nasional menjadi awal petualangan di kawasan hutan Alas Purwo. Di sebuah pertigaan, petunjuk jalan siap mengarahkan perjalanan menuju pantai dan hutan. Belok kanan sejauh 5 km, Pantai Ngagelan. Meninggalkan pertigaan, penjelajahan menyeruak hutan tertua di Pulau Jawa siap diteruskan. Melepaskan diri dari riuh ramai kota yang kerap menarik urat. Saya bersama Satria Ramadhan segera memacu kecepatan motor yang bersuspensi tunggal di bagian belakang.
Hantaman lubang tak menyulitkan laju roda motor milik pihak taman nasional yang kami pinjam. Ban luar dengan tekstur kasar dan bergelombang cukup mencengkeram sehingga tidak mudah terpeleset. Namun perbincangan dimulai. “Ini kalau bocor, pusing juga ya. Gak ada tambal ban,” kata saya kepada Satria. “Ya, mudah-mudahan gak bocor,” jawabnya. Kami hanya menghela napas membayangkan jika risiko terburuk itu terjadi. Sudah tentu akan mendorong hingga batas Desa Tegaldlimo.
"Ini pura yang terkenal itu tuh. Katanya yang tertua.” ucap saya sambil menunjuk Situs Kawitan. Situs pura ini dahulu ditemukan sekitar tahun 1965 dan mulai dibuka untuk upacara keagamaan pada tahun 1968. Sementara di sebelah Situs Kawitan, masih terdapat satu pura lagi yaitu Pura Luhur Giri Salaka. Setiap 210 hari sekali, umat Hindu rutin melaksanakan upacara keagamaan yang bernama Pagerwesi. Umat Hindu biasanya akan ramai berbondong-bondong datang ke pura ini.
Perjalanan tak berhenti lama di tempat peribadatan umat Hindu ini. Gigi persneling diinjak dan tali gas mulai dibetot kembali. Dengan kapasitas mesin 150 cc, setiap betotan gas akan membuat tubuh terhentak. Jalan selebar sekitar empat meter menemani perjalanan kami. Suasana rindang dan sejuk mengawal setiap meter jarak yang dilampaui. Hingga sampai di sebuah pertigaan yang mengarahkan kemudi motor ke Padang Penggembalaan Sadengan, Pantai Triangulasi, dan juga Pos Pancur. “Yuk, kita mampir ke sini, Sat,” kata saya waktu itu.
Suara knalpot yang menggelegar memecah kesunyian. Namun burung-burung tak mau kalah mengicaukan simponi ala alam. Merdu sekali dibuatnya. Untuk menuju padang penggembalaan, dapat ditempuh sejauh satu kilometer dari pertigaan yang dijumpai. Padang ini merupakan tempat berkumpulnya para satwa taman nasional. Mulai dari 302 jenis burung, kijang, rusa, banteng, babi hutan, lutung dan satwa lain. Burung seperti Elang Jawa, Elang Ular Bido, Elang Ikan Kepala Kelabu, Elang Laut Perut Putih, Peregam, Srigunting, Ayam Hutan Merah, Jalak Putih, Bangau Sendang Lawe, Blekok Sawah, Merak Hijau hidup di sini.
Dari atas menara pengamatan, padang savana membentang luas. Beberapa pohon tumbuh melindungi hewan-hewan yang berkeliaran. Rumput-rumput hijau dengan beberapa gradasi warna ungu tumbuh subur. Di ujung pandangan, bukit-bukit menjulang hampir menyentuh awan. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari pihak taman nasional, waktu terbaik untuk dapat mengamati banteng mencari makan dan saling berinteraksi adalah ketika pagi hari sekitar 06.00 WIB – 09.00 WIB dan sore hari sekitar 15.30 – 17.00. Kami datang tepat waktu sesuai perencanaan.
"Itu bantengnya Sat. Pelan-pelan, nanti kabur,” bisik saya pada Satria. Bak detektif yang sedang mengamati target operasi, kami melangkah perlahan menembus rerumputan. Dengan “senjata” di tangan, saya membidik sang target dari kejauhan. Sang target berhasil saya bekukan. Tak puas, kami lanjut menyusuri padang rumput ini. Semakin dekat dan sang target rasanya mulai menyadari kehadiran endapan si manusia. Terkadang langkah kami hentikan sesaat. Napas berhenti beberapa detik. Beberapa tampak bergerombol di bawah pohon dari kejauhan. Sekitar 8 ekor banteng yang ada. Kami beruntung dapat melihat salah satu satwa kebanggaan di Alas Purwo.
Lepas dari Sadengan, kami beranjak menuju ke Pantai Triangulasi. Memasuki Pantai Triangulasi, di sebelah kanan jalan terdapatguest house yang disewakan oleh pihak taman nasional. Jalan yang awalnya didominasi tanah dan batu-batu kecil kini berganti dengan pasir. Ombak laut pun bak menari-nari menyambut. Gemuruhnya pun tak mau kalah bernyanyi. Pasir Pantai Triangulasi terlihat putih. Butiran pasirnya sangat halus. Namun yang keindahan pantai ini agak terganggu dengan sampah yang terbawa dari laut. Juga oleh ranting-ranting pohon. “Ini pantai kalau dikelola dengan baik, bagus nih buat pariwisata di Jawa Timur. Tapi sayang begini ya,” kata saya.
Sambil menikmati deburan ombak, saya menelusuri pinggir pantai. Dari kejauhan, kumpulan rusa sedang asyik meminum air laut. Rusa-rusa hanya menengok ketika bertemu dengan manusia dari kejauhan. Seperti mengamati banteng, kami kembali berjalan perlahan-lahan tanpa suara. Langkah kaki bersembunyi di balik suara ombak. Namun perlahan, mereka mulai sadar dengan kehadiran manusia. Hewan yang dapat ditemui di taman nasional ini lari masuk ke dalam hutan. Mereka menghilang tanpa sempat bertatap muka lebih dekat. Hanya jejak kaki di pasir yang tertinggal menjadi kenangan.
Sehari menjelajah di kawasan hutan tertua di ujung timur Pulau Jawa ini terasa tidak cukup jika ingin mengetahui rahasia di baliknya. Masih ada goa-goa yang menjadi tempat pertapaan orang-orang yang datang ke sini. Aroma mistis yang kental dapat dicoba bagi para pengunjung yang penasaran. Belum lagi pantai-pantai berpasir putih lainnya. Atau tempat penangkaran penyu. Alas Purwo menyisakan misteri wisata yang masih belum terungkap.
0 komentar