Menengok Saksi Bisu Letusan Gunung Krakatau
SEJAUH memandang, hanya hijau rumput dan pepohonan yang menyihir mata. Mobil tak henti-hentinya berayun-ayun menabrak lubang-lubang kecil di kawasan Tampang-Belimbing Wildlife Nature Conservation. Di ujung pandangan, tampak berdiri sebuah mercusuar yang menjulang gagah. Deburan ombak menemani sang saksi meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883.
Dibangun oleh Raja Belanda Willem III pada tahun 1879, rasa kagum sekejap muncul. Setelah hampir 135 tahun berdiri, mercusuar tetap berdiri tegak. Namun ternyata sang mercusuar tak berdiri tegak. Dahsyatnya letusan Gunung Krakatu membuat mercusuar menjadi miring sekitar 17 derajat. Semakin dekat jarak, karat-karat coklat mulai terungkap.
Di luar kompleks mercusuar, tampak seekor rusa liar berkeliaran mencari makanan. Dua bangunan yang tak terurus hanya membujur kaku menunggu waktu. Pintu mercusuar berkarat hampir di seluruh bagian. Sang mercusuar menua. “Mercusuar di Tambling sudah tidak difungsikan saat ini, kan udah maju komunikasi sekarang,” ujar Darmo, sang pemandu di TWNC saat akan memasuki mercusuar.
Jantung berdegup kencang ketika mulai menapaki anak tangga mercusuar. Berumur hampir 137 tahun, anak tangga juga telah mulai rapuh. Jika salah berpijak, maka bersiap untuk jatuh. Tangan mencengkeram kuat teralis tangga yang tak luput dari karat. “Ini masih kuat gak ya kalo dinaikin ke atas?" gumam saya dalam hati.
Dr. Tawaluddin Haris, Dosen Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia mengatakan bahwa dahulu ketika pembangunan mercusuar di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda membawa bahan material dari negeri Belanda langsung menggunakan kapal laut. Ia juga menambahkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda sangat menyadari pentingnya mercusuar untuk memantau alur pelayaran dari dan ke Teluk Semangka dan ke Teluk Lampung bagi kapal-kapal dagang yang berlayar dari Samudera Hindia.
Mercusuar di ujung barat daya Pulau Sumatera ini memiliki 17 lantai. Ketika masih digunakan, beberapa lantai di mercusuar berfungsi sebagai ruang administrasi. Terbayang saat Pemerintah Belanda masih menggunakan mercusuar ini sebagai pemantau. Namun sekarang, hanya karat yang tersisa. Jendela kaca pun telah pecah. Hanya foto yang dapat mengabadikan keadaan saat ini. "Yuk foto-foto, Bil," ucap saya kepada Nabila teman perjalanan ketika menengok pemandangan luar dari jendela kaca mercusuar di lantai 10.
Perjalanan menapaki anak tangga mercusuar kembali bergulir. Untuk mencapai puncak mercusuar diperlukan 15 menit melangkah di anak tangga yang berkarat, Di puncak mercusuar masih terdapat lampu sorot yang digunakan untuk menerangi pinggir laut. Darmo mengatakan lampu mercusuar masih berfungsi dengan baik. Setelah diperbaiki, lampu dapat berfungsi selayaknya dulu.
Ombak berdebur kencang memekakkan telinga. Dari atas mercusuar, ombak bak berkejaran menyusul tak mau ketinggalan. Biru samudera bersanding dengan cakrawala. Horizon terbentang tak terhingga. Sementara angin membelai rambut dan mengeringkan peluh yang bercucuran akibat menaiki anak tangga. Memutari puncak mercusuar, landasan pacu memanjang di tengah hutan-hutan. Hijau dan biru mewarnai ujung Sumatera ini.
Jika dilihat secara geografis, mercusuar ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat. Kawasan Tambling masih bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Dikelola oleh oleh PT Adhiniaga Kreasi Nusa, anak perusahaan Group Artha Graha, kawasan ini memiliki luas mencapai 45.000 hektar.
Waktu demi waktu hanya saya habiskan dengan berfoto dan berbincang-bincang di puncak mercusuar. Selain itu sambil juga melihat dan membayangkan bagaimana karang-karang hitam yang siap membuat kapal karam. “Ayo turun, kita lanjut lagi wisatanya ke tempat lain,” ucap Dharmo, pria kelahiran Ambon ini kepada kami. Waktu cepat bergulir, sementara penjelajahan di TWNC ini masih harus berlanjut. Setelah ini saya akan menyusuri pantai menuju Danau Menjukut.
0 komentar