konsumerisme di kalangan remaja
konsumerisme di kalangan remaja
KONSUMERISME DI KALANGAN REMAJA
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.
"Konsumerisme" perlu dibedakan dari "konsumsi". Dalam banyak hal bisa dikatakan, sejarah manusia adalah sejarah konsumsi (dan produksi). Sesudah dengan tangan telanjang kita memakai daun untuk makan, lalu memakai sendok-garpu sumpit guna mengonsumsi makanan. Konsumsi berkait pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomis-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan survival. Sedangkan konsumerisme adalah soal lain lagi.
Maka konsumerisme adalah sebuah ideologi global baru. Konsumerisme merupakan paham atau aliran atau ideologi dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Bagi para kapten iklan, konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Tetapi, bagaimana kita mengartikan praktik konsumerisme? Jika dipadatkan, kira-kira begini: konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ada. Soalnya adalah bagaimana kita tahu suatu konsumsi telah mencapai tahap mengada-ada? Sebagai contoh, artis Syahrini, mengaku terus shopping pakaian, tas, sepatu, dan aksesori lainnya sebagai sesuatu yang dirasa sangat dibutuhkan saat dia tampil di depan publik.
Mereka yang menjadikan ke-konsumtif-annya sebagai gaya hidup adalah mereka yang secara tidak langsung menganut paham konsumerisme. Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya uang untuk shopping. Pun bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Berapa dan apapun harganya, mereka yg menganut ideologi ini pasti akan membayarnya.Lalu, mengapa di tengah lautan kemiskinan yang luas, orang menumpuk barang-jasa bermerek yang berharga absurd? Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada" dilembagakan sebagai nirvana.
Dalam kasus ini, mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pede dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pede tertinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.
Pada satu sisi, konsumsi memang bersifat mutlak. Keberlangsungan hidup manusia tidak bisa terlepas dari asupan pangan yang mereka nikmati. Peningkatan intensitas kebutuhan komoditas konsumsi secara rasio memang berkorelasi positif dengan pertumbuhan jumlah manusia.
Lebih lanjut hakikat konsumsi, dalam hidup manusia terkait dengan pemenuhan akan kebutuhan hasrat fisik manusia. Maslow dalam teorinya tentang piramida kebutuhan manusia, mengemukakan, bahwa kebutuhan manusia secara berurut meliputi; kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan), kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan rasa aman, serta kebutuhan akan status sosial.
Tempat : Tunjungan Plaza Surabaya pada 22 september 2012, Siang (Pk. 15.00 - 21.00)
Foto-foto di atas adalah pengambaran konsumerisme pada kalangan remaja kita ini. Seperti contoh-contoh yang telah kami berikan diatas tadi juga merupakan hobi kami. Dipandang dari sudut logika ini konsumerisme tidak aka nada matinya, karena sifat dasar pada manusia adalah tidak pernah puas, yang kaya tetap kaya dan kebutuhannya semakin bertambah, sedangkan yang miskin akan tetap miskin dengan kebutuhannya yang pas-pasan.
Pada pengamatan ini kami mau menjelaskan lebih jauh tentang konsumerisme khususnya pada para remaja pada jaman sekarang ini. Remaja saat ini sering menghabiskan waktu di mall mereka bisa pergi ke mall dalam waktu 1minggu 3-4x, biasanya setiap malam minggu setiap mall pasti ramai, apa lagi mall-mall elit pastinya dikunjungi banyak pemuda remaja masa kini, di restoran, café, bar, dan pusat perbelanjaannya. Mereka cenderung lebih sering nongkrong di mall dari pada di tempat hiburan lainnya. Apalagi sekarang banyaknya dibuka mall-mall baru dan tidak kalah saingnya setiap daerah sudah mendirikan mall-mall, walaupun Indonesia termasuk Negara miskin tetapi mall-mall akan selalu ramai dengan banyak konsumer khususnya para remaja.
Tunjungan Plaza (atau biasa disingkat TP) adalah sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya, sekaligus plaza yang paling populer di masyarakat kota Surabaya, didirikan pada tahun 1986. Tunjungan Plaza terletak di Surabaya Pusat tepatnya di Jl.Basuki Rachmat dan mengarah hingga ke Jl.Embong Malang. Pusat perbelanjaan ini mempunyai 4 bangunan utama yang saling berhubungan (Tunjungan Plaza I-IV). Kawasan Tunjungan dikenal sebagai pusat komersial Kota Surabaya. Tunjungan Plaza berada di bawah naungan PT. Pakuwon Jati Tbk yang juga membangun Pakuwon Trade Center dan Supermal Pakuwon Indah di wilayah permukiman Pakuwon Indah,Surabaya Barat, Royal Plaza di Surabaya Pusat, serta Food Festival dan Pakuwon Town Square di Surabaya Timur, tepatnya di kawasan permukiman Pakuwon City (sebelumnya Laguna).
Pada perkembangannya kini, manusia terjebak pada kompleksitas ragam komoditi yang hendak (secara sadar atau tidak) mereka konsumsi. Itu semua tak terlepas dari konstruksi sosial yang dibangun massa di dalam lingkungan manusia itu sendiri. Salah satunya yaitu peradaban modern yang tumbuh dari perkembangan umat manusia telah menunjukkan kemajuan paling tinggi. Namun perkembangan peradaban yang kian maju, tidak semuanya memiliki dampak positif, beberapa diantaranya memberikan implikasi yang kurang baik bagi manusia, berupa perubahan budaya, salah satunya adalah budaya konsumtif terhadap benda (material culture).
Parahnya konsumerisme ini cenderung lebih mewabah di negara - negara dunia ketiga seperti negara – negara miskin yang baru akan berkembang dan Indonesia merupakan satu diantaranya. Maka doktrin yg berlaku di masyarakat kita sekarang seakan akan mengharuskan setiap manusia yg lahir di negara tersebut untuk dicetak sebagai kelas pekerja atau class worker. Kelas pekerja ini tidak mempunyai kemampuan untuk mencipta atau memproduksi maka tidak heran kelas pekerja hanya ahli dalam satu hal: membeli atau mengkonsumsi. Sehingga memang masyarakat negara - negara di dunia ketiga ini memang cenderung untuk lebih konsumtif dibanding masyarakat di negara – negara maju.
Hal ini ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri mode, kawasan huni mewah, kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler (hp) dan lain sebagainya. Dengan demikian, masyarakat akan terkondisikan untuk bergantung terhadap semua fasilitas yang disediakan. Parahnya, saat ini perilaku konsumtif tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi para remaja sekarang lebih cenderung berperilaku konsumtif.
Ada beberapa alasan perilaku konsumtif lebih mudah menjangkiti kalangan remaja, salah satunya karena secara psikologis remaja masih berada dalam proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh luar. Dimana masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan sehingga mereka mudah terkena pengaruh lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Reynold menyatakan Remaja usia 16 s/d 18 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penampilan diri.
Remaja ingin dianggap keberadaannya dan diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi lingkungan tersebut. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang popular. Salah satu caranya adalah dengan berperilaku konsumtif, seperti: memakai barang-barang yang baru dan bermerk , memakai kendaraan ke sekolah, pergi ke tempat-tempat mewah untuk bersenang-senang ( diskotik, restoran, kafe dan tempat-tempat lainnya) di berbagai penjuru kota. Pada 20 tahun yang lalu remaja Indonesia tak menghadapi masalah seperti itu, sebab, 20 tahun yang lalu instrumen yang mendukung munculnya gaya hidup konsumtif juga tak banyak. Namun, saat ini puluhan pusat perbelanjaan berupa mal bermunculan dengan begitu pesat. Tak hanya di kota besar, namun juga di kota-kota kecil.
Dengan adanya semua fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan yang ada tersebut, memudahkan akses bagi masyarakat terutama remaja untuk berperilaku konsumtif. Karena untuk dianggap keberadaanya oleh lingkungan, ia harus menjadi lingkungan tersebut dengan cara mengkonsumsi dan menikmati semua fasilitas yang telah disediakan. Kesimpulannya, ini semua dilakukan oleh remaja semata-mata ingin diperhatikan dan ingin menunjukkan bahwa remaja sudah bisa menjadi dewasa, sudah bisa hidup dan bergaul layaknya orang dewasa. Tetapi akibatnya perilaku konsumtif ini akan terus menjadi kebiasaan gaya hidup remaja di Indonesia.
Faktor lain yang tak kala mendukung adalah munculnya majalah-majalah remaja yang menyerupai etalase toko. Isi majalah ini lebih banyak memamerkan produk-produk untuk dijual. Kalangan yang katanya masih dalam pencarian jatidiri ini menjadi sasaran empuk dari pasar. Pasar menawarkan gaya hidup dan tren tertentu pada remaja. Untuk memenuhi gaya hidup itu, remaja didorong mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan. Mereka suka gonta-ganti merek, mudah hanyut mengikuti tren.
Inilah gambaran kecil dari Fenomena Konsumerisme. Sebagai sebuah fenomena sosial, konsumerisme menunjuk kepada gaya hidup yang mengukur kebahagiaan dari sisi kepemilikan barang tertentu (bedakan dengan konsumerisme sebagai ’gerakann atau kebijakan utk mlindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjualan dan pengiklanan’). Sebagian orang menyebut fenomena konsumerisme (seperti yang dimaksud dalam paper ini adalah konsumtivisme.
Untuk menganalisis konsumerisme, beberapa teori dapat dipakai:
- Teori Produksi Karl Max Teori ini mengetengahkan pertentangan antara kaum buruh dan kaum pengusaha. Di dalamnya didapati konsep mengenai ideologi, fetisisme komoditas dan reifikasi. Hal ini mengarahkan pada pencarian sosok yang paling bertanggungjawab dalam pembuatan pencitraan dan fenomena konsumerisme sekaligus komoditas yang ditunjukkan dan pola pengasingan masyarakat yang terjadi.
- Teori Pasca Strukturalisme Telaah strukturalisme menunjukkan perilaku konsumsi dijalankan oleh pemaknaan yang terjadi. Dari perspektif struktural, yang dikonsumsi adalah tanda (pesan, citra) dan bukan sekedar komoditas. Dari situ dapat didefinisikan hubungan semuanya dengan seluruh komoditas dan tanda. Dengan strukturalisme bahkan dapat juga dijangkau logika bawah sadar berupa kode dan tanda.
Konsumerisme tentunya memiliki pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif yang dapat dikemukakan adalah:
1. Konsumerisme dapat meningkatkan dinamika dalam masyarakat. Dinamika dalam masyarakat dibutuhkan dalam upaya menuju perkembangan masyarakat. Memang tidak selamanya dinamika mengarah kepada hal yang positif (perkembangan), tetapi masyarakat yang dinamis menyimpan potensi semangat untuk melakukan perubahan.
2. Konsumerisme didukung dengan berbagai kemudahan yang ditunjukkan. Salah satunya adalah barang-barang yang serba unik, baru dan melimpah. Harga pasar yang terjangkau dan persaingan yang ketat. Dalam level praktis, konsumerisme selalu didukung dengan kemudahan pasar. Inilah yang mengakibatkan banyak kalangan melakukannya, bahkan, meskipun tidak menyadarinya.
Selain sisi positif yang tentunya dicari dengan kepayahan, beberapa sisi negatif dengan mudah dapat ditemukan:
1. Konsumerisme menuntun masyarakat pada alienasi atau proses pengasingan dari diri dan keinginannya (bahkan rasionalitasnya). Masyarakat dijadikan proyek produksi yang diiming-imingi sesuatu dan diarahkan pada sesuatu. Masyarakat dibentuk dan dapat kehilangan kesadarannya (consiousness-nya). Ini dapat terlihat dalam pola budaya massa. Juga pencitraan melalui media massa.
2. Konsumerisme dapat melanggengkan ketidakadilan. Proses produksi dapat dengan mudah menindas kaum yang kecil dan keadilan tidak seimbang. Meskipun budaya massa dapat berarti menyeragaman, tetapi dilihat dari keseimbangan pendapatan dan kekayaan maka akan nampak semakin tidak seimbang. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan terbodohi
3. Konsumerisme meningkatkan konsumsi dan membahayakan keseimbangan alam. Dengan pola produksi dan konsumsi yang berlebihan, beban bumi dalam menyeimbangkan alam menjadi semakin berat. Mari kita lihat limbah produksi, limbah hasil produksi disertai ketidakmauan berpikir untuk melakukan daur ulang. Hal ini dapat membahayakan bumi.
4. Konsumerisme dapat meningkatkan kriminalitas. Hal ini disebabkan karena meningkatnya keinginan dan kebutuhan, tanpa diimbangi dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Meskipun ini adalah sisi negatif tidak langsung, tetapi hal ini harus diwaspadai.
Dikutipdari:http://fajar_riski_s-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-60919-Umum-KONSUMERISME%20DI%20KALANGAN%20REMAJA.html
0 komentar