Perlukah ikut les Bimbingan Belajar?

By 03.19

Perlukah ikut les Bimbingan Belajar?


Kenapa harus lembaga bimbingan
belajar diversuskan dengan
sekolah? Bukankah les atau
tambahan pelajaran di luar
sekolah yang umumnya dilakukan
olehlembaga bimbingan belajar ini mendukung prestasi siswa di sekolah? Kata sekolah sendiri berasal dari
bahasa Latin, yaitu skhole, scola,
scolae atau skhola yang artinya
adalah 'waktu luang' atau 'waktu
senggang'. Hal tersebut mengacu
pada awal mula terbentuknya sekolah, yaitu untuk mengisi
waktu luang anak-anak, yang
utamanya adalah bermain,
dengan kegiatan belajar. Dalam perkembangannya, sekolah
menjadi hal penting, bahkan
utama bagi sebagian besar anak-
anak dan remaja di dunia, tak
terkecuali di Indonesia. Peranan
sekolah yang begitu besar dalam membentuk karakter manusia
memiliki sisi lain yang sekarang
menonjol, yaitu sebagai penentu
masa depan siswa. Peranan
orang tua pada anak
tergantikan oleh guru pada saat siswa di sekolah. Siswa harus
menurut kepada guru seperti
mereka menurut kepada orang
tua. Lalu, apa jadinya jika guru tidak
memberikan instruksi yang jelas
tentang pembelajaran yang
berlangsung, khususnya di
ruang-ruang kelas sekolah?
Siswa akan kebingungan, apalagi jika mereka mendapatkan
standar yang dinilai cukup tinggi,
mulai kriteria ketuntasan untuk
kompetensi dasar pada tiap-tiap
mata pelajaran yang ditentukan
sendiri oleh sekolah (umumnya 75%) hingga nilai minimal untuk
UN (Ujian Nasional. Siswa yang kebingungan ini
seolah-olah mendapatkan angin
segar dengan hadirnya berbagai
lembaga bimbingan belajar.
Bagaimana tidak? Hampir di
setiap kota besar terdapat lembaga bimbel terkenal yang
menjanjikan hasil maksimal untuk
konsumennya yang notabene
siswa sekolah formal. Selain menjamurnya lembaga
bimbingan belajar, tidak sedikit
mahasiswa yang menempuh
pendidikan calon guru atau fresh
graduate-nya yang menyambi
jadi guru privat dari rumah ke rumah layaknya sales door to
door untuk memenuhi kebutuhan
siswa—kebutuhan untuk belajar. Kalau siswa ditanya untuk apa
mereka belajar begitu keras,
banyak di antara mereka yang
menjawab agar tidak kalah saing
dengan teman-temannya di
sekolah (padahal sistem ranking sudah dihapus oleh mayoritas
sekolah di Indonesia), ingin lulus
UN (Ujian Nasional) atau ingin
lolos tes ini-itu untuk
melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi. Coba perhatikan lima atau
sepuluh tahun lalu. Pukul 13.00,
siswa Sekolah Menengah
Pertama atau Sekolah Menengah
Atas sudah memasang muka
ceria, siap pulang atau untuk beberapa siswa yang aktif,
bertahan di sekolah karena
mengikuti berbagai
ekstrakurikuler. Bagi yang lebih
santai, mereka berhenti di tepi
jalan, kantin, dan kafe untuk sekadar nongkrong. Hanya
segelintir dari mereka yang
masih melanjutkan belajar ke
lembaga bimbingan belajar. Namun, sekarang, terutama di
kota-kota besar, pemandangan
yang berbeda pasti terlihat.
Beberapa dari siswa tersebut
berbondong-bondong pergi ke
lembaga bimbingan belajar terdekat. Kalaupun ada yang
langsung pulang, hal itu tidak
menjamin kalau di rumah mereka
bisa langsung beristirahat. Sudah
ada guru les privat yang
menunggu. Mengapa Harus Belajar di
Lembaga Bimbingan Belajar? Sekolah dengan segala fasilitas
pendukungnya, termasuk guru-
guru senior dan dapat
diasumsikan andal (karena sudah
melalui berbagai tes kelayakan
profesi dan gelar yang mendukung), seharusnya dapat
memuaskan rasa keinginbelajaran
siswa. Namun, mengapa mereka
harus mengeluarkan tenaga dan
biaya yang tambahan, bahkan
tak jarang lebih besar daripada biaya sekolah, untuk les di
lembaga bimbingan belajar? Faktor utama adalah persaingan.
Persaingan bukan lagi dalam
kancah perebutan gelar juara
kelas. Tidak ada lagi podium yang
disediakan karena sistem ranking
(umumnya) sudah dihapuskan. Hal itu ternyata menyebabkan
persaingan makin sengit. Diam-
diam, sekolah menyimpan urutan
nilai siswanya yang nantinya top
sekian dari daftar tersebut akan
diprioritaskan namanya untuk dikirim ke sekolah lanjutan atau
universitas-universitas unggulan.
"Jalur undangan" istilah
kerennya. Tak heran siswa berupaya
setengah mati untuk mengatrol
nilainya, antara lain dengan les di
sana-sini, ikut bimbel (bimbingan
belajar) klasikal maupun privat,
dengan guru yang stand by di tempat lembaga bimbingan
belajar atau yang bersedia
datang ke rumah siswa. Jika siswa tidak dapat masuk ke
sekolah lanjutan atau universitas
melalui ajang pencarian bakat
atau jalur undangan, artinya
mereka harus rela mengeluarkan
uang lebih untuk bimbingan belajar khusus persiapan SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri). Seluruh lembaga bimbingan
belajar seantero Indonesia
berlomba-lomba menawarkan
metode unggulannya. Semua
mengklaim bahwa mereka dapat
mengajarkan siswa untuk lolos SNMPTN alias jadi mahasiswa
perguruan tinggi negeri. Bahkan,
ada yang tidak tanggung-
tanggung bersedia
mengembalikan biaya les yang
telah dikeluarkan siswa hingga seratus persen jika siswa yang
mengikuti les di tempat mereka
tidak lolos SNMPTN. Kehebohan tidak hanya sampai di
situ. Siswa yang sudah
mendapatkan tambahan di
lembaga bimbingan belajar yang
umumnya melakukan pengajaran
secara klasikal tidak jarang pula masih minta menambah belajar
dengan cara menyewa jasa guru
les privat yang bersedia datang
ke rumah siswa. Beda lagi jika siswa kelas
sembilan SMP atau dua belas SMA
ditanya alasan mereka mau
mengikuti pelajaran tambahan di
lembaga bimbingan belajar.
Jawaban kompak akan Anda dengar—takut tidak lulus UN.
Bukan ingin nilai tinggi untuk UN,
tetapi hanya agar lulus. Hal ini
sering dikemukakan bahkan oleh
siswa dari sekolah ternama atau
terbaik di kotanya. Standar nilai minimal kelulusan
yang cuma 5,5 dengan bobot 40
dibanding 60, yakni 40% dari
akumulasi rata-rata nilai ujian
sekolah dan 60% dari nilai UN
ternyata masih menjadi momok untuk siswa di Indonesia. Fungsi Sekolah Tergantikan
oleh Lembaga Bimbingan
Belajar? Lalu, apa sebenarnya fungsi
sekolah sekarang? Sebagai
tempat menuntut ilmu? Jika ada
di pelosok negeri, kemungkinan
fungsi tersebut masih dipegang
penuh oleh sekolah. Namun, jika kita beranjak ke tempat yang
sedikit saja maju atau
berkembang, ternyata fungsi
sekolah tidak ikut berkembang.
Sekolah menjadi semacam ajang
mencari gengsi. Orang tua berlomba-lomba mendaftarkan
anaknya di sekolah unggulan
dengan biaya selangit bukan
agar anaknya dapat belajar lebih
baik. Semakin mahal dan bagus mutu
sekolah (dilihat dari nilai
akreditasinya) tidak selalu
menjamin bahwa pembelajaran
yang berlangsung di dalamnya
semakin baik. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi di mana
lembaga bimbingan belajar
biasanya disesaki oleh siswa dari
sekolah-sekolah unggulan. Sekolah unggulan menyediakan
lahan yang kompetitif untuk
mencari nilai dan prestasi, tetapi
nyatanya tidak memfasilitasi
pembelajaran dengan layak. Guru
cenderung mengajar dengan gaya konvensional, ogah ribet
dengan strategi-strategi
pembelajaran mutakhir dengan
alasan, "Saya ngajar model
jungkir-balik pun bayarannya
tetap." Sementara, siswa yang dituntut
untuk mendapatkan semua yang
lebih, oleh guru maupun orang
tua, mulai mencari alternatif
pembelajaran yang nyaman,
interaktif, dan membuat mereka lebih mengerti tentang konsep-
konsep yang harus mereka
pelajari di sekolah. Lembaga
bimbingan belajar menangkap
gelagat itu dan mengemasnya
menjadi bisnis yang apik. Bagaimanapun, seharusnya fungsi
sekolah tidak dapat digantikan
begitu saja oleh lembaga
bimbingan belajar. Siswa
seharusnya merasa lebih nyaman
belajar di sekolah daripada di gedung lembaga bimbingan
belajar. Guru-guru di sekolah
menjadi orang tua kedua,
tempat siswa mengadu dan
menganut. Yang terpenting,
siswa seharusnya mempelajari banyak konsep di sekolah,
terfasilitasi kebutuhan
belajarnya cukup dengan
sekolah. Lembaga bimbingan belajar
seharusnya hadir sebagai
lembaga yang menyediakan
tambahan pelajaran untuk siswa
yang benar-benar membutuhkan
atau untuk siswa berkebutuhan khusus. Lembaga bimbingan belajar juga bisa berkonsentrasi untuk memberikan tambahan ilmu
yang memang tidak dipelajari
siswa di sekolah, seperti
kemampuan bahasa asing atau
keterampilan praktis tertentu.

You Might Also Like

0 komentar