Ni Ketut Arini, Kesetiaan untuk Tari Bali

By 07.09

NI Ketut Arini (72), penari asal Denpasar, Bali, ini tidak pernah berhenti menari. Mengajar tari Bali di sanggarnya atau melayani panggilan melatih di luar negeri menjadi keseharian Arini, panggilannya. Oleh karena kesetiaannya pada tari, Arini ingin tetap menjaga dan melestarikan seni tari Bali melalui ratusan anak didiknya sampai kapan pun itu.

Menari, bagi Arini, bagai menyatu dalam jiwanya. Sejak berumur sekitar tiga tahun, dia sudah belajar menari. Jiwa seni dalam tubuh Arini mengalir dari ayahnya, seorang penabuh gamelan. Seringnya dia melihat pementasan tari Bali di puri-puri keraton membuat obsesi Arini pun bertumbuh.

Tahun 1957 dia sudah menjadi penari pilihan untuk upacara Sang Hyang Dedari di Banjar Pande Sumerta Kaja, Denpasar. Pada waktu itu, bisa tampil dalam upacara tersebut menjadi kebanggaan bagi seorang penari.

”Saya bertekad harus menjadi penari. Saya harus serius belajar (menari). Bahkan, saya tidak pernah berhenti belajar menari sampai sekarang,” kata Arini.

Legong menjadi salah satu tarian keahlian Arini. Terbukanya keran pariwisata membuka peluang masyarakat untuk naik ke pentas tari. Alasannya, tarian seperti Legong sebelumnya terbiasa hanya dipentaskan di keraton.

Arini kemudian bercerita, banjar-banjar pada masa remajanya ramai menjadi tempat latihan sekaligus pementasan tari-tarian. Turis-turis mancanegara pun sering berdatangan ke banjar untuk menyaksikan tari-tarian yang dipentaskan.

Seiring berjalannya waktu, banjar pun kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan adat hingga pementasan tari-tarian untuk pariwisata. Anak-anak dan remaja juga giat dan bersemangat berlatih tari. Kegiatan tari-menari itu kemudian tidak hanya untuk kepentingan pada upacara-upacara adat di pura-pura.

Entah mengapa, lanjut Arini, kegiatan tari-menari serta pementasannya lambat laun menghilang memasuki tahun 1980-an. Pementasan tari-tarian Bali kemudian berpindah ke hotel-hotel serta obyek-obyek wisata. Sesekali pementasan tari masih berlangsung, tetapi biasanya hanya ketika ada seremoni.

Kondisi tersebut menjadi keprihatinan Arini. Dia khawatir anak-anak muda tidak lagi berminat untuk belajar menari. Banjar-banjar pun terkena imbasnya, dan mulai sepi dari kegiatan tari-menari.

”Beruntung, saya belajar dari guru-guru terbaik di Bali kala itu. Oleh karena itulah, saya ingin terus berbagi ilmu (menari Bali) kepada siapa pun yang mau belajar,” kata Arini dengan serius.

Belajar dari maestro

Memiliki darah seni mempermudah Arini memahami karakter tari-tarian yang dipelajarinya. Dia berkeyakinan, keseriusannya dalam belajar di sekolah seni hingga berguru kepada para maestro tari Bali tidak akan sia-sia.

I Wayan Rindi dan I Nyoman Kaler merupakan dua di antara guru-guru tari terbaik bagi Arini, khususnya untuk tari Legong. Selama hampir 40 tahun, ibu empat anak ini menggeluti tari Legong. Tidak heran kalau 15 jenis tari Legong yang ada telah dikuasainya.

Kepiawaian Arini menarikan tari-tarian Bali membuat dia sering kali diminta untuk mengajar di luar negeri, seperti Jepang dan Filipina. Tak sedikit pula mahasiswa asing dan penari asal mancanegara juga berdatangan ke sanggar yang berada di rumahnya.

Mereka belajar menari Bali di sanggarnya. Arini memang tidak pernah menolak siapa pun yang datang untuk belajar menari. Dia justru merasa senang jika semakin banyak anak muda yang mau belajar menari Bali.

Hanya saja, Arini tetap meminta pertanggungjawaban mereka. Dia akan memberikan semua pengetahuan tari miliknya dengan syarat sang murid mau belajar menari dengan serius.

”Saya tidak suka anak murid yang tidak disiplin. Teknik menari itu ada aturannya, dan bukan sembarangan asal kita bisa menari,” ucap Arini serius.

Penari juga dituntut untuk memahami gamelan pengiringnya. Menurut Arini, hal ini menjadi penting karena penari dan gamelan pengiringnya harus menyatu.

Seorang penari, lanjut Arini, bisa lihai dan gemulai meskipun dia tidak memiliki keturunan darah seni dari keluarganya. Keseriusan seseorang dalam mempelajari tarian menjadi kuncinya. Oleh karena itulah, Arini tidak menuntut siapa pun yang datang belajar kepadanya harus memiliki bakat.

”Bakat itu bukan segalanya. Semangat dan niat seseorang untuk belajar menjadi yang utama. Meski orang itu berbakat tetapi tidak punya semangat dan niat, tidak akan pernah menjadi penari yang hebat,” tutur dia.

Prihatin dan komersialisasi

Sebagai pengamat tari, Arini tetap ingin membangun pemahaman teknik menari yang benar dan baik. Menurut dia, belakangan ini ada sebagian penari ataupun sanggar yang hanya mengedepankan anak muridnya bisa menari.

Sementara itu, pemahaman bagaimana menarikan suatu tarian yang benar dari hati masih kurang ditekankan. Cara berdiri, cara melirik, cara menggerakkan dagu yang benar, serta cara menempatkan tangan dan kaki menjadi beberapa contohnya.

Dia menilai, komersialisasi telah membuat orientasi menari yang benar menjadi luntur. Beberapa tarian Bali pun kemudian bisa dipersingkat durasinya.

Keprihatinan Arini tak berhenti di sini. Tentang pendokumentasian tari-tarian Bali pun, dia menilai, pemerintah daerah belum melakukannya secara maksimal. Arini bahkan menemukan sejumlah dokumentasi mengenai tari-tarian Bali justru dari temannya di Belanda.

”Teman yang menemukan dokumentasi (tari-tarian Bali) itu meminta saya untuk merevitalisasi tari-tarian tersebut. Ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat saya bersemangat untuk menggali kembali tari-tari klasik yang hilang,” katanya.

Jika memang tanah kelahirannya belum bisa menghargai karya para penarinya sendiri, Arini tak akan patah semangat. Kalau Bali belum bisa, bangsa lain masih menghargai tari-tarian Bali. Hal ini menjadikan Arini tetap hidup dalam kesetiaannya sebagai penari. Dia tak akan berhenti menari dan membagikan semangat itu terutama bagi anak muda

You Might Also Like

0 komentar