HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI
DENGAN SIKAP PEMAAF PADA REMAJA
Masa
remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa
dewasa. Kedewasaan dalam diri remaja berbeda-beda, tergantung pada
pengalaman dan pengetahuan masing-masing individu. Berbuat kesalahan
kepada individu lain dalam suatu interaksi pasti pernah terjadi serta
pernah dialami oleh para remaja. Tidak semua orang mau dan mampu secara
tulus memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain demikian halnya para
remaja. Proses memaafkan memerlukan kerja keras, kemauan kuat, dan
latihan mental, karena terkait dengan hati manusia yang fluktuatif,
dinamis, dan sangat reaktif terhadap stimulan luar (Wardhati, 2004).
Sikap
pemaaf pada diri remaja tergantung pada tingkat kedewasaannya. Semakin
dewasa, remaja akan mempunyai sikap pemaaf yang tinggi, hal ini
dikarenakan karena tingkat kedewasaan akan membuat remaja pada khususnya
untuk melapangkan dada dalam memberi maaf pada setiap kesalahan yang
diperbuat oleh orang lain (Nuryoto 2003).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa sikap pemaaf pada diri remaja mempunyai peranan yang
penting dalam kehidupan, sebab sikap pemaaf ini akan mempengaruhi
kehidupan sosial dari remaja tersebut. Jika sikap pemaaf dapat dilakukan
dalam hidup bermasyarakat, maka akan diterima pula oleh masyarakat.
Remaja yang mempunyai sikap pemaaf, berarti telah mempunyai kemampuan
untuk menyeimbangkan emosi dengan baik.
Sikap
pemaaf adalah suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada
sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Definisi dari maaf
itu sendiri adalah pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda,
dsb) karena suatu kesalahan. Menurut Nuryoto (2003), selain pemaaf yang
merupakan sikap positif dalam diri manusia, juga terdapat sikap negatif
yaitu sifat pemarah dan pendendam. Pemaaf adalah sifat luhur yang perlu
ada pada diri setiap manusia, namun dapat diakui tidak mudah untuk
menjadi seorang pemaaf.
Sikap
negatif yang menjadi lawannya yaitu sikap pemarah yang senantiasa
berusaha menghilangkan wujud sifat pemaaf dalam seseorang. Dua unsur
tersebut mewujudkan satu mekanisme yang saling ingin menguasai diri
seseorang. Iman dan takwa menjadi pengemudi melahirkan sifat pemaaf
disaat muncul sifat pemarah. Sifat pemaaf sulit dilakukan,
karena manusia senantiasa dikuasai pikiran untuk bertindak sesuatu
sehingga dapat membunuh nilai moral.
Sikap
pemaaf dapat dijadikan sebagai pilihan sikap yang dapat menepis
keinginan untuk menyakiti orang lain dan diri sendiri. Sikap pemaaf
merupakn motivasi yang dapat mengubah seseorang agar tidak mempunyai
keinginan untuk membalas dendam. Sikap pemaaf juga dapat meredakan
dorongan untuk memelihara kebencian terhadap sahabat yang menyakiti,
selain itu sikap pemaaf juga dapat meningkatkan dorongan untuk
rekonsiliasi hubungan terhadap sahabat yang menyakiti. Oleh karena itu,
sikap pemaaf sebagi hasil dari proses transformasi mempertimbangkan
antara memelihara kebencian dan pembalasan.
Sikap
pemaaf merupakan suatu fenomena yang menarik, karena sikap pemaaf
merupakan salah satu solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan konflik
antar kelompok. Salah satu contoh sikap pemaaf yang sedang marak di
Indonesia adalah rekonsiliasi. Secara harfiah, rekonsiliasi berarti
mewujudkan kembali hubungan persahabatan atau mengembalikan suasana yang
bersahabat (Sutanto, 1998).
Hal
yang sama pentingnya dengan pemberian maaf adalah kemauan meminta maaf.
Seseorang akan sulit memaafkan jika orang yang bersalah tidak minta
maaf dan berupaya memperbaiki kesalahannya. Beberapa penelitian
menemukan bahwa meminta maaf sangat efektif dalam masalah konflik
interpersonal (Ohbuchi dkk, 1989), karena permintaan maaf merupakan
sebuah pernyataan bertanggunjawab tidak bersyarat atas kesalahan dan
sebuah komitmen untuk memperbaikinya. Droll (1984) menyatakan bahwa
memaafkan merupakan bagian dari kemampuan seseorang melakukan komunikasi
interpersonal. Proses maaf memaafkan tidak mungkin dilakukan oleh satu
orang saja, harus ada orang yang minta maaf dan ada orang yang memberi
maaf. Jadi dalam proses maaf memaafkan individu tidak mungkin
mengharapkan hanya satu pihak saja yang aktif meminta maaf atau memberi
maaf.
Saling
memaafkan antara pihak yang terlibat konflik diakui merupakan langkah
awal menuju rekonsiliasi (McCullough, 1998). Bagi sebagian besar orang,
sikap saling memaafkan pada orang yang telah melukai perasaannya
sangatlah tidak mudah, meskipun perlaku sikap pemaaf sudah diajarkan dan
dilatihkan sejak kecil. Saling memaafkan merupakan jalan yang terbaik,
walaupun mudah diucapkan, namun memaafkan bukanlah perbuatan yang mudah
dilakukan, ketika seseorang telah dilukai atau dicelakai. Hal tersebut
biasanya akan menanamkan perasaan dendam dan ingin membalas.
Idealnya
sikap dan perasaan negatif dalam memaafkan harus digantikan dengan
sikap dan perasaan positif. Hal yang harus dilakukan adalah usaha keras
tidak henti-hentinya dan masing-masing pihak memperbaiki hubungan yang
ada dan kerapkali pula dihadapi pada ketegangan pengalaman pahit yang
dihadapi. Seorang konselor dari Loyola College, John Garner menyatakan
bahwa memaafkan secara dewasa bukan berarti menghapus segala perasaan
negatif, jadi sebuah keseimbangan perasaan bukan berarti bersifat saling
menghapuskan (Smedes, 1984).
Keinginan
untuk berbuat positif bukan berarti menghapuskan perasaan negatif yang
pernah ada. Suatu keseimbangan akan dicapai jika yang positif dan
negatif berkoeksistensi secara bersama-sama. Hal ini hanya dapat dicapai
jika masing-masing individu mampu belajar menyadari bahwa setiap orang
mempunyai kekurangan masing-masing. Peristiwa menyakitkan boleh jadi
dilakukan oleh seorang teman tetapi mungkin dirinya juga turut berperan
atas terjadinya peristiwa tersebut.
Droll (1984) dan OShaugnessy (1967) mengemukakan bahwa memaafkan orang yang bersalah membuat perilaku inferior
terhadap orang yang telah memaafkannya, dan seseorang memaafkan orang
lain karena kemurahan hati dan kasihan terhadap orang yang bersalah.
McCullough dkk (1997) menyatakan bahwa memaafkan sebagai seperangkat
motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan
meredam dorongan untuk memelihara kebencian terhadap orang yang
menyakiti, serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan
terhadap orang yang menyakiti.
Menurut
Fitzgibbons (Worthington & Wade, 1999), secara kesehatan memaafkan
memberi keuntungan psikologis. Memaafkan merupakan terapi yang efektif
dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa
bersalah, seperti kasus korban yang mengalami kekerasan dan pelecehan
seksual. Selain itu memaafkan dapat mengurangi marah, depresi, dan cemas
(Hope, 1987).
Adanya
kemauan untuk memaafkan diduga dipengaruhi oleh empati yang dimiliki
seseorang karena empati pada diri seseorang memungkinkannya untuk
memperbaiki hubungannya dengan orang lain karena empati merupakan salah
satu dasar yang dibutuhkan dalam menjalin hubungan interpersonal dan
dapat memperlancar komunikasi (McCullough, 1997). Penelitian yang
dilakukan oleh Wardhati (2004) membuktikan bahwa salah satu hal yang
berpengaruh terhadap perilaku pemberian maaf adalah adanya empati yang
dimiliki seseorang. Empati merupakan salah satu aspek dari kecerdasan
emosi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap pemaaf berhubungan dengan kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang.
Goleman
(1999) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang untuk mengenali, menyadari dan mengelola emosi
baik pada diri sendiri maupun orang lain untuk digunakan secara efektif,
membangun hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan, sehingga
apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan orang lain dan tidak
mudah berprasangka, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas
yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial
serta lingkungannya. Kecerdasan emosi menyebabkan seseorang dapat
menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, membagi kepuasan dan
mengatur suasana hati, sehingga kecerdasan emosi penting dimiliki oleh
setiap manusia sebagai makhluk sosial.
Telah
diketahui bersama bahwa masa remaja terkenal dengan berkecamuknya
berbagai perubahan emosional. Masa remaja menunjukkan dengan jelas
sifat-sifat dari masa transisi atau peralihan, karena remaja belum
memperoleh status orang dewasa tetapi juga tidak lagi mewakili status
anak-anak. Pada masa remaja, kelompok individu-individu dikenal memiliki
ketidakstabilan dalam emosinya. Bandura (dalam Gunarsa, 1981)
menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu masa pertentangan dan
pemberontakan, karena pada masa ini remaja menunjukkan gejala
emosionalnya yang sangat menonjol dan sering dikatakan belum matang. Hal
ini tampak pada perilaku remaja yang tidak stabil, mudah tersinggung,
egois karena pemikiran dan perhatiannya hanya terpusat pada dirinya,
terlalu bersemangat dan kadang pesimis.
Kecerdasan
emosi bagi remaja merupakan unsur yang penting untuk memasuki masa
dewasa. Kecerdasan emosi akan membantu remaja untuk mengendalikan
perilaku dalam menyesuaikan dirinya memasuki gerbang kedewasaan. Remaja
yang cerdas emosinya akan dapat mengatasi permasalahan, baik yang
berasal dari dalam diri maupun lingkungannya. Adanya dukungan emosi yang
matang dan cerdas berpengaruh dalam sosialisasi dengan orang lain yang
ditunjukkan dengan adanya perilaku menerima dan mengerti terhadap orang
lain atau kelompok lain, dan hal ini akan memudahkan remaja untuk
memaafkan kesalahan orang lain.
Pentingnya
kecerdasan emosi dengan sikap pemaaf pada remaja menarik minat peneliti
untuk mengangkat ke dalam sebuah penelitian yang berjudul Hubungan
Antara Kecerdasan Emosi dengan Sikap Pemaaf Pada Remaja. Dinamika yang
ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor dalam
diri individu dapat menimbulkan sikap pemaaf pada remaja. Subjek yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMA
Negeri 1 Wirosari, Purwodadi. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti
lakukan terhadap beberapa siswa diperoleh keterangan bahwa pernah
terjadi perselisihan antara dua kelompok siswa akibat adanya
kesalahpahaman, sehingga perselisihan ini berlangsung cukup lama.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa para siswa terutama yang
terlibat dalam perselisihan tersebut kurang meliki sikap pemaaf.
Diposkan dari: http://matrixsmart.blogdetik.com/hubungan-antara-kecerdasan-emosi-dengan-sikap-pemaaf-pada-remaja/
0 komentar